Wednesday, 29 May 2013

Ceritaku Berawal Disini


Gunung Slamet in 2013

Semua ceritaku berawal dari sini. Awal dimana aku tidak takut lagi untuk melangkah jauh walau sendiri. Aku berani menjadi seorang "petualang" karena aku pernah melangkah disini, bersama mereka, bersama dia. Semua meragukan pada awalnya, mungkin mereka khawatir karena aku masih kecil. Masuk akal, karena mendaki gunung itu bukan hal yang main-main, semua itu menyangkut selamat atau tidak. Namun dia percaya, bahkan menjamin kalau aku pasti bisa. Bermula hanya dari sebuah candaan menjadi sebuah langkah yang akhirnya mengubah diriku. "Benar aku bisa mendaki gunung Slamet itu? Bisakah aku sampai ke puncak gunungnya dan kembali pulang dengan selamat Ceritanya akan seperti apa kira-kira?


Kisah ini sudah aku bagi sebelumnya tidak lama setelah kami mendaki gunung Slamet, namun aku tidak menceritakan bagaimana sebetulnya kisahku disana bersama mereka. Sudah terlalu lambat untuk menceritakan cerita ini. Kejadian ini sudah beberapa tahun yang lalu. Salah satu tokohnya pun kini sudah tertidur tenang di alam sana. Ingatanku juga sudah tidak terlalu detail tentang cerita di gunung Slamet, hanya kenangan yang melekat. Tapi aku coba untuk mengingat apa yang bisa aku ingat dan akan aku ceritakan apa yang bisa aku ceritakan di sini. Tapi sepertinya akan lebih baik jika  aku membiarkan kenangan saja yang bercerita.

Jumat adalah hari yang paling dinanti orang-orang kantoran karena besok adalah weekend, dimana orang-orang bisa menikmati leisure time mereka. Sekarang sudah jam 7:15 malam dan aku masih duduk di meja kantorku. Bukannya aku masih banyak pekerjaan dan tidak punya rencana untuk weekend besok, tapi aku sedang asik dengan kenanganku, membiarkan imajinasiku menembus dimensi waktu kembali ke masa lalu, mencoba untuk mengingat kembali cerita-ceritaku selama di Gunung Slamet beberapa tahun yang lalu. Gunung Slamet adalah gunung pertama yang berhasil aku daki, tempat pertama kali aku berpetualang, bersama orang yang tepat. 


Dua tahun lalu, tepatnya tahun 2013, kami sedang nongkrong di Circle K perempatan kebon sirih. Tempat favorit kami untuk nongkrong dimalam hari. Saat itu aku masih kerja dengan jadwal shifting dan sedang duty malam. Tapi karena bujukan ngumpul bareng teman-teman (Azmi, Bayu, Himawan, dan Delfi), aku memutuskan untuk keluar istirahat sebentar dan ikut gabung bareng mereka. Suasana sudah heboh, berisik, ramai seperti biasa saat aku tiba di sana, itulah kami. Tidak mengenal tempat dan waktu, kami bisa tertawa terbahak-bahak seolah lagi berada di planet kami sendiri. 

"Hallloooooo broohhhh"

"Halo kidsss!!" 

Mereka memanggilku dengan sebutan kidz, karena memang aku yang paling muda diantara mereka. Panggilan itu awalnya diberikan oleh bang Azmi dan well-perfectly being my called name sampai sekarang. Obrolan rombongan yang paling heboh ditempat itu berlanjut.


"Ehh kalian sudah nonton 5cm belum sih? Udah ada yang punya download-an nya gak?"

"Keren yah katanya filmnya?"
"Hebat yah, Pevita aja bisa naik gunung" Sautku.
"Tepu ituuu cok, naik helikopter mereka hahaha... Ehh bay, anyway sudah lama nih gue gak naik gunung. Lo kan sering tuh naik gunung, ada plan ga lo minggu depan?" Kata Azmi pada Bayu
"Minggu depan mi? Ngga ada sihh, lagi kosong gue!" Balas Bayu dengan datar.
"Yowes, naik yuk?"
"Naik gunung? Mahameru yah? Kayak 5cm dong? Ikut lahhh!!!" Sambungku dengan mata melotot.
"Lo gilaa? hahaha" Jawab Azmi dengan cepat. Semua tertawa menanggapi perkataanku.
"Lah emang kenapa? Wanita aja kayak Pevita bisa, masa gue ngga" Jawabku.
"Ngga Sumeru juga kali cok, yaudah kalau lo mau ikut, boleh asal ngga cengeng disana" 
"Hahahaha bapak Azmi ini sepeleh sama saya, siappps"
"Hahaha lo ngga usah ikut cok, lo pikir gampang naik gunung" Tiba-tiba Mawan memotong pembicaraan.
"Iya cok, takut bikin susah lo nanti" Tambah Delfi.
"Ngga. Gue bisa. Gue ngga nyusahin. Di film-film aja orang pada bisa"
"Oke-oke lo ikut. Gue yang tanggung jawab guys. Tapi cok, di film itu gak sama dengan apa yang lo bayangin. Naik gunung itu tidak segampang yang ada di film. Film itu tipuan aja. Lo harus komitmen dulu kalo emang mau kesana" Azmi cukup bijak menanggapi semua kontroversi tentang keinginanku untuk ikut naik gunung.
"Terus kalau gitu kita kemana nih?" Bayu bertanya kembali dengan ekspresi datar.
"Iya yah naik gunung kemana?
"Gimana kalau Slamet aja? Ngga terlalu jauh soalnya, jadi waktunya cukuplah" Jawab Bayu kembali dengan datar.
"Oke, deal. Siapa aja yang ikut jadinya???"

Malam itu aku bersemangat, tidak sabar untuk menunggu hari dimana petualangan itu akan dimulai.  Disatu sisi aku juga sedikit khawatir. Aku belum pernah naik gunung. Aku belum pernah bermain dengan alam liar. Apakah aku bisa? Tapi sisi yang lain, keyakinanku berbisik kalau petualangan ini pasti tetap akan seru, akan ada cerita di Slamet sana nanti, aku yakin!! Ini pendakian gunung pertamaku.

Tepat sehari sebelum kami mendaki gunung, cuman aku, Azmi, dan bayu yang memutuskan untuk mendaki gunung Slamet. Malam itu seperti biasa kami kembali nongkrong di CK yang memang lokasinya tidak jauh dari kosan kami. Itinerary kami permantap disana. Siangnya aku dan bang Azmi juga sudah beli beberapa perbekalan buat kami di Carrefour. Diluar dugaan belanjaan kami ternyata banyak juga, ketika orang boros seperti Azmi ketemu dengan orang serakah seperti aku, yah begitulah, pada akhirnya, tidak semua yang telah kami beli bisa dibawa karena keterbatasan kapasitas carrier dan memang beberapa diantaranya tidak diperlukan. Berbeda dengan Bayu, ia yang lebih berpengalaman dalam mendaki gunung sudah tahu betul apa-apa saja yang harus dibeli dan butuh berapa banyak yang harus dibawa, sehingga nantinya tidak mubazir. Semua rencana sudah mantap, perbincangan singkat di CK sudah berakhir. Kali ini kami tidak bisa nongkrong sampai larut malam, karena besok kami harus packing dan mempersiapkan tenaga sebelum malamnya berangkat ke Purwokerto menggunakan bus antarkota. Diperjalanan kami pulang kekosan malam itu, motor yang mengangkut tiga manusia itu, aku, Azmi, dan Bayu akhirnya harus menyerah menopang kami, ban depannya meletus. Sudah jam 12 malam, tidak ada bengkel yang buka. Fix kami harus mendorong motor. Walau jarak kosan kami memang tidak jauh, tapi lumayan juga dorong motor malam-malam.


"Sudah lari-lari kecil belum belakangan ini? Kalau mau naik gunung harus pemanasan dulu cok" Tanya Azmi yang sadar kalau aku mulai bete mendorong motor.

"Belum... Terus gimana?"
"Ooohh bagus kalau begitu, yasudah dorong motornya aja sendiri, itung-itung pemanasan buat besok hahaha" 
"Yaelaaahh"

Malam itu aku mencoba tidur tapi aku terus terbayang tentang bagaimana petualanganku 
kali ini akan menjadi sebuah cerita yang luar biasa. Malam semakin larut, mataku mulai lelah, ia menyerah, pikiran yang masih terus ingin berterbangan bersama imajinasi-imajinasi malam itupun menyerah. Aku tertidur lelap ditemani mimpi-mimpi tentang negeri di atas awan.

Keesokan harinya semua sudah siap, tinggal memasukkan semua barang saja kedalam carrier masing-masing. Semua masih tertidur. Dua buah kasur kecil ditiduri bersempit-sempitan oleh empat anak muda yang datang dari kampung yang berbeda-beda, aku dari Sulawesi, Azmi dari Klaten, Mawan dari Tangerang, dan Bayu dari Madiun. Kami semua merantau jauh dari orang tua. Kami punya harapan besar untuk menjadi orang besar suatu saat nanti. Semalaman tadi kami telah memeriksa kembali barang bawaan kami, memastikan tidak satupun barang yang sekiranya akan kami butuhkan belum tersedia. Packing barang sudah selesai, semua sudah tertata rapi disudut kamar dekat pintu. Biar nanti kalau sudah mau berangkat, ngangkut barangnya gampang. Malam harinya kami berangkat meninggalkan kosan kami yang berada tidak jauh dari stasiun Gondangdia menuju jalan Kebon Sirih. Di sana kami menungu bus menuju terminal Pasar Rebo dan akan bertemu teman Bayu, Syarif yang juga memutuskan untuk ikut dengan kami ke gunung Slamet. Sekarang sudah tepat jam 12 malam, kami sudah tepat berada dalam bus kota menuju Terminal Pasar Rebo. Aku merasa bangga saja ketika orang-orang satu bus melihat kami yang sedang memikul tas carrier yang besar. Mau mendaki gunung nih sepertinya, mereka ini pasti traveler. Pikirku tentang apa yang mereka pikirkan saat itu.


Sekitar kurang lebih setengah jam kami sudah sampai di terminal Pasar Rebo. Sudah malam, tidak mungkin macet, makanya kami sampai cuman sekitar 30 menitan. Kami akhirnya ketemu Syarif, pertama kalinya aku mengenal orang ini. Orangnya kurus dan tinggi, dari penampakannya sih jelas orang ini adalah seorang pendaki handal. Kami segera bergegas mencari bus. Tidak ada waktu untuk berkenalan lebih lanjut, cukup bersalaman, menyebutkan nama masing-masing, selanjutnya nanti saja. Bus menuju Purwekerto tinggal satu dan itupun sudah hampir penuh. Beruntungnya masih ada sederetan kursi kosong di pojok belakang bus. Pas buat kami berempat. Bus pun berangkat, diperkirakan setidaknya besok siang kami sudah sampai di Purwokerto, Jawa Tengah.


Air Conditioner bus sepertinya dimatikan, mungkin karena sudah malam. Orang-orang juga lebih banyak membuka jendela, biar terkena tiupan angin sepoi-sepoi, kesempatan juga bagi para perokok seperi bang Azmi untuk bisa merokok dalam bus, tinggal buang asapnya saja keluar jendela, semua aman, penumpang lain tidak akan tertanganggu. Dia tepat duduk disampingku tapi ia di samping jendela, agar tidak menggangguku dan penumpang lain dengan asap rokoknya. Dia tidak tertidur, dia tetap asik dengan rokoknya. Sesekali membuka handphonenya. Aku mengenalnya belum lama ini, baru beberapa bulan. Tapi aku merasa ikatan batin antara kami sudah lebih dari teman, tapi saudara, seperti kakak adek. Tidak sedikit yang mengatakan kalau aku seperti adiknya setiap kali aku mengganti display picture BBMku dengan foto kocak kami. Aku senang-senang saja kalau ada yang bilang demikian. Toh aku tidak punya kakak kandung dan dari dulu aku memang menginginkan sosok seorang kakak sekedar untuk tempat bercerita di kala cerita itu mungkin tidak nyaman untuk diceritakan ke orangtua. Aku pura-pura tertidur, padahal sebetulnya sedang mengamati sekelilingku., memperhatikan pergerakan setiap orang. Bayu dan Syarif sudah tertidur lelap dari awal bus berangkat, seolah-olah sedang berada dalam hotel bintang lima. Entah bagaimana mereka bisa tertidur selelap itu di bus yang terus bergoncang karena jalan yang rusak.


Aku yang awalnya pura-pura tidur kini mencoba untuk tidur tanpa pura-pura, tapi tidak bisa. Mungkin aku terlalu bersemangat untuk petulangan kali ini. Imajinasiku berterbangan liar, otakku tidak bisa berhenti untuk berfikir.

"Bang Azmi, Lo udah tidur?"
"Haaa? kenapa? Belum, lagi dicoba, kenapa?"
"Ngga.. Aku ngga bisa tidur, terlalu bersemangat"
"Hahhaha dasar bocah, baru dibawa gini aja udah kesenangan banget sampe gak bisa tidur. Gimana kalo diajak ke bulan yah?"
"Yakali kita kebulan juga". (Sekarang dia ternyata ke bulan tanpa mengajakku, mungkin dia tahu aku benar-benar tidak akan tertidur kalau diajak main kesana)
"Sudah.. coba lagi aja tidurnya, nanti subuh kalau matahari sudah terbit, aku bangunin, sepertinya pemandangannya keren" Katanya dengan logat khas jawanya.

Satu jam, dua jam, tiga jam, dan aku terlelap.

Matahari mulai terbit, sesuai janjinya aku dibangunkannya, melihat pemandangan yang kami lewati.

"Bangun, noh liat pemandangan dibalik jendela" 

"Waaahh keren sekali yah" 

Aku suka pemandangan di balik jendela, di balik sana selalu keren. Kuambil iPhone ku untuk mengabadikan indahnya pemandangan pagi itu, bersama mereka sahabat yang sudah kuanggap sebagai saudaraku. Pemandangan pagi itu begitu indah, ditemani sinar matahari yang hangat dan sawah yang sebentar lagi panen perlahan menyadarkanku kalau kemana aku selama ini, sudahkah aku berpetualang untuk menantang diri? Kemana saja aku telah menjelajah? Kenapa aku begitu anak rumahan? Padahal begitu banyak hal-hal yang menakjubkan di luar sana.


Bepergian dengan bus ekonomi selama berjam-jam tidaklah selamanya nyaman. Di malam hari mungkin tidak terlalu terasa, tapi menjelang siang, cobaan mulai terasa, panasnya matahari seolah menembus atap bus kami. Keringat mulai bercucuran, duduk rasanya sudah tidak senyaman semalam tadi. Ingin rasanya mandi tapi tidak mungkin. Panas, bau, lapar, semua menjadi satu. Tapi aku sadar, itulah bagian dari sebuah petualangan, bagaian dari sebuah cerita. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku bepergian dengan bus yang kurang nyaman selama berjam-jam. Tercatat sekarang sudah hampir sepuluh jam kami duduk di dalam bus. Bekal kami sudah habis, air minum di botol kecil kami sudah habis. Sebetulnya ada beberapa botol Aqua yang masih tersegel di dalam tas kami. Tapi tidak ada niat kami untuk membukanya, karena botol-botol itu adalah bekal kami di gunung nanti. Disaat yang bersamaan bus kami stuck, walau kami sudah masuk Purwekerto, tapi sudah kurang lebih 2 jam bus kami tidak jalan. Ternyata ada sbuah kecelakaan di ujung jalan sana. Mobi-mobil terlihat bagaikan sebuah antrian yang sangat panjang. Schedule kami harus diubah karena kami pastinya akan telat tiba di kaki gunung Slamet, didesa terakhir sebelum memasuki gunung Slamet. Bus tidak menunjukkan adanya tanda-tanda untuk bergerak dalam waktu dekat. Orang-orang mulai berkeluaran dari bus sekedar untuk mendapatkan udara segar. Kami sudah tidak sanggup, kami kehausan hebat. Sebentar lagi kami dehidrasi. Kami harus keluar mencari minum ke warga. Tapi siapa yang akan mencari? Tidak semua harus turun berombongan, satu orang saja sudah cukup. Hmmm, perasaanku tidak enak. Aku yang paling kecil disini, kalau di Jakarta, biasanya aku yang selalu jadi tumbal kalau dalam keadaan seperti ini. Dan memang benar aku yang terpilih untuk menebarkan senyuman ramah ke warga dengan tujuan mendapatkan sebotol air minum yang segar. 


"Kenapa gue sih?" Jawabku dengan malas.

"Kan tampangmu yang paling melas cok hahaha, ayoklahh, kan bentar lagi naik gunung"
"Oke oke, stop speaking, I will do it, look at my action, don't be surprised kalo dengan mudah aku bisa dapat air!"

Sasaran pertamaku adalah mencoba menemukan ibu-ibu yang kelihatannya ramah. Memilih orang untuk dimintai sesuatu adalah salah satu elemen yang penting, karena kalau tidak, nantinya kamu akan kecewa. 


"Permisi bu, macetnya sudah lama yah bu?" Tanyaku dengan mencoba basa-basi terlebih dahulu.

"Ohh ia dek, dari pagi ini, disana ada mobil jatuh" Jawab ibu-ibu yang aku datangi dengan sangat lembut.
"Hhhm target sasaran yang sangat tepat" Bisikku dalam hati. Kutatap teman-temanku yang sedang menunggu didepan pintu bus dari kejauhan. Batinku seolah bisa berkomunikasi dengan mereka,
"Tenang, penderitaan kita sudah berakhir"
"Bu, boleh aku minta air minum bu? Persediaan kami sudah habis, dari subuh kami belum minum bu"  Pintaku dengan muka melas yang memang cuman aku yang bisa memasang raut muka seperti itu.

Dengan rasa kasihan kepadaku, ibu itu akhirnya mengambil botolku dan membawanya masuk kedalam rumahnya. Yess!! Kami dapat air, kami tidak akan kehausan lagi. Tidak lama setelah itu si ibu pun keluar dengan jari-jari yang baru saja menutup botol minumku dengan rapat. "Ini dek minumnya" Kupegang botolnya, namun sejenak aku bagaikan tertimpa batu besar. Aku merasakan hawa panas yang berpindah dari botol itu ketelapak tanganku. 

"Maaf yah dek, adanya cuman air panas, soalnya ibu baru kelar masak air"
"Ohhh iya bu tidak apa-apa, ini saja sudah sangat terima kasih ibu" Jawabku dengan nada yang sangat lambat yang entah mengekspresikan senang atau malah bertambah pilu. 
Kehausan begini malah dikasi air panas yang baru saja mendidih. Dari kejauhan bisa kutangkap raut kebahagiaan teman-temanku. Batinku seolah kembali berkomunikasi dengan batin mereka.  Kutangkap bahasa aura mereka yang seolah berkata "Akhirnya kita bisa minum.....!!" Belum tau saja mereka kalau isi air ini adalah air dengan suhu tidak jauh dari 100 derajat celcius, bukan air hangat, tapi air panas. Penantian mereka berakhir dengan sebuah kediaman tanpa kata keitka aku tiba didepan mereka. Mereka yang telah membayangkan tenggorokan yang akan dialiri air segar harus sirnah tanpa terealisasikan. Apa boleh buat, tak ada kayu, rotanpun jadi. It's coffee time. Okelah, biar tidak kecewa-kecewa amat dan setidaknya tenggorokan teraliri air, kami membuat kopi hitam panas, menikmatinya sambil duduk dipinggir jalan raya sembari menunggu antrian bus kami yang entah kapan akan mendapat gilirannya untuk melanjutkan perjalanan. 


Mount Slamet or Gunung Slamet is an active stratovolcan in the Purbalingga Regency of Central Java, Indonesia. It has a cluster of around three dozens of cinder cones on the lower southeast-northeast flanks and a single cinder cone on the western flank. The volcano is composed by two overlapping edifices. Four craters are found at the summit. Historical eruptions have been recorded since the eighteenth century. Gunung Slamet was closed to climbers for much of 2010 and 2011 but was opened in late 2011. A large number of climbers were expected to visit to peak on New Year's Eve 2012 to celebrate the new year.























No comments:

Post a Comment