Friday, 14 August 2015

Splendour of Bromo



Banyak tempat yang ingin terus aku jelajahi, bagiku diam bukanlah hal yang menyenangkan. kemana lagi aku selanjutnya, udara pagi mana lagi yang ingin kurasakan? Cerita seru apa lagi yang ingin aku ceritakan kelak?....

Alarm berbunyi menandakan sekarang sudah pukul 12 malam. Sepi meraba malam, kantuk tak kunjung datang, TV berubah fungsi, dia yang menonton tuannya, bukan tuannya yang menonton dia. Pikiran melayang, menembus imajinasi liar untuk membuat sebuah petualangan yang maha dasyat (bagiku) dan disitulah awal sebuah cerita terlahir.

Setelah berbulan-bulan lamanya aku berkonsentrasi full untuk test IELTS ku, kini saatnya berpetualang. Bisa dibilang tiap hari hanya kantor, kosan, belajar, bahasa inggris, bahasa Jerman, makan, dan kembali tidur... "Monoton!! Aku ngga suka!!!" Batinku melawan. "Pokoknya setelah test, aku harus pergi kesuatu tempat. Aku harus kesana. Kesuatu tempat yang belum aku ketahui."
Kemana? Luar negeri? Dalam negeri? Medan? Surabaya? Karimun? .. Kemana? Kemana? Biarkan aku tidur dulu, mungkin ilham akan menghampiriku dalam mimpi.

Hening ...

Dua minggu kemudian, test yang telah lama aku persiapkan pun telah dilewati, dan entah kenapa setelah test, jariku tergerak begitu saja untuk mengetikkan sebuah kata "Bromo" di web browser smartphone-ku. "Okey, Bromo is my next destination..Bromo was my list for long time to be visited actually.

Seperti biasa, jika ingin travelling, hal pertama yang menjadi concern aku adalah tiket (Round Trip). Bukan tiket yang mengikuti jadwalku, tapi aku yang mengikuti jadwal tiket kereta yang available dan yang paling murah. Karena bagiku, traveling itu ngga mahal, tapi MURAH!! (one of my tips for traveling).


(My Economy Train Ticket to Malang)

Aku dan Wawan teman sekampungku (Parepare) memulai langkah kami. Kamis 16 April 2015 15:15 WIB dari Stasiun Senen Jakarta, dengan kereta ekonomi Matarmaja tujuan Stasiun Malang Kota Malang. Berbekal informasi dari internet, tanya sana sini, kami cukup confident kalau trip ini akan berjalan mulus sampai pada akhirnya nanti kami berada di puncak Bromo. Tetapi faktanya, sampai dengan kami duduk di kereta, kami belum menemukan Jeep (mobil khusus yang biasa digunakan menuju Bromo).

"Yang penting sampai disana dulu aja Wan, ntar sampai juga kok ke Bromo nya."

Bagi aku dalam sebuah Trip, menentukan lokasi mana saja yang harus dikunjungi adalah hal yang terpenting. Terkait masalah hotel, penginapan, atau bagaimana kesananya adalah urusan belakangan. Estimasi waktu akan dengan otomatis terprediksi. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjelajahi tempat-tempat itu.
  1. Malang (Sekitaran kita Malang seperti Alun-Alun Kota).
  2. Bromo (Desa Tengger, Sunrise Bromo, Kawah Bromo, Pasir Berbisik, Padang Savanah, dan Bukit Teletubbis).
  3. Batu (Paralayang Pujon, Museum Angkot, cukup itu saja).
Estimasi empat hari tiga malam jika semua berjalan sesuai dengan rencana, aku yakin Instagramku akan berisi foto-foto lokasi dari tiap list yang telah aku buat.

Finally, Jumat, 17 April 2015 pukul 07:50 WIB, kami tiba di kota Malang.
Selamat pagi Malang... udaramu begitu sejuk, kenapa Jakarta tidak sesejuk dirimu? Kenapa engkau begitu ramah ke kami si orang asing? Kenapa kamu tidak semacet Jakarta? Kenapa A dan B? Kenapa sampai Z? dan aku pun sadar, kenapa aku harus terus membandingkan Jakarta dengan Malang? Kenapa aku berpihak ke Malang? Kenapa aku memalangkan Jakarta jika berada dalam posisi seperti ini? Aku salah, selalu salah jika selalu membandingkan kota lain dengan sang Ibu Kota Jakarta. Aku yang memutuskan tinggal disana. Aku bisa travel ke Malang juga karena kerja di Jakarta. Aku dapat uang di Jakarta. Sudah seharusnya aku mencintai Jakarta dengan segala isinya, karena itu bukan dia yang mau, tapi dia hanya mengikuti kemauan orang-orang. Kasihan si Jakarta.. Dia selalu mendengarkan orang-orang itu walaupun orang-orang itu sebenarnya tidak pernah mendengarkan Jakarta. Mendengar saja tidak, apalagi menanyakan langsung ke Jakarta.
"Mau kamu apa Jakarta? Bilang saja kekami."

(The morning atmosphere in Malang-Station) 


Perjalananpun dilanjutkan. Melangkah namun bingung arahnya mau kemana. Kami tau mau kemana, tapi kami buta arahnya lewat mana. Mencoba menikmati didalam kegelisahan.

Seorang teman menyapa, "Coki, lah ngapain lo disini? mau kemana lo? dasar lo emang bocah ilang."

"Ehh mas Bisma, apa kabar mas, iya gue mau ke Bromo, tapi bingung nih kesananya gimana. Intinya gue kesana maunya naik kendaraan umum."

Mas Bisma ini dulu rekan kerjaku di kantor lama. Aku tidak begitu akrab dengan dia. Cuman dia itu sahabat almarhum Bang Azmi. Mungkin karena masih respect dengan almarhum juga mas Bisma membantu kami.

"Sudah, lo ke tempat gue aja dulu cok, dekat kok tinggal jalan kaki dari sini (Stasiun Malang). Nanti lo bisa siap-siap buat sholat Jumat dulu sambil beres-beres buat ke Bromonya."

"Wokeh mas, makasih banyak loh mas."

Istirahat sejenak setelah seharian diperjalanan. Disinilah aku merasakan betapa nikmatnya berkah air untuk dipakai mandi. Air kota Malang sangat segar. Nikmat apalagi yang kamu dustakan. Rencanapun di permantap. Penjelasan yang sangat panjang dari mas Bisma dan teman-teman yang pernah punya pengalaman ke Bromo (by phone) sangat membantu kami. Aku dan Wawan melanjutkan perjalanan ke Bromo setelah sholat jumat. Dari Alun-alun Kota Malang, kami naik angkot menuju Terminal Ajosari, sambung angkot kembali menuju desa Tumpang yang merupakan desa terakhir sebelum masuk ke kawasan Bromo dan Sumeru. Penuh harapan kami akan bisa menemukan group yang akan juga naik ke Bromo hari itu, sehingga kami bisa share cost Jeep yang mahal dengan mereka tentunya. Satu juta rupiah bukanlah angka yang kecil untuk dibagi dua demi menyewa kendaraan yang bisa mengantarkan kami ke kawasan gunung Bromo. Kami sangat buta. Kami kebingungan. Kami sudah di Tumpang, tapi kami tidak tahu langkah selanjutnya harus bagaimana. Bagaimana menemukan Jeepnya? Adakah rombongan yang akan naik ke Bromo malam ini? Maukah mereka jika kami join? Apa? Desa Tengger? Apanya desa Tumpang? Ternyata masih ada lagi tujuan yang harus kami temui lagi sebelum ke Bromo. Desa Tengger yang letaknya berada didalam kawasan Area Bromo.

"Apalagi Desa Tengger itu" aku sudah lelah seharian naik kereta, lanjut angkutan umum melewati terminal sebelum akhirnya sampai desa Tumpang. "Aku masih harus ke sebuah desa dulu lagi sebelum ke Bromo?" Aku kebingungan, ini gambarannya seperti apasih? Rute ke Bromo ini seperti apa?

Jadi jika kita memutuskan untuk menginap di kawasan Bromo sebelum mengunjungi gunung Bromo dengan tujuan agar bisa istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan, kita sebaiknya menyewa penginapan di desa Tengger dibanding desa Tumpang. Disana alternative penginapan sangat banyak. Kita bisa ketemu sesama backpacker dari seluruh dunia dan tentunya bisa makan!! Kami lupa kalau perut kami sudah kesal dengan kami, mereka minta hak mereka "Makanan". Mereka memberontak. "Jangan lupakan saya tuan!" Hal yang sering dilupakan dalam sebuah perjalanan ditengah kondisi yang terdesak seperti ini. Kami memutuskan makan seafood di pinggir jalan. Murah dan enak!! Hanya dengan kurang dari Rp.25.000,- untuk berdua, kami bisa menikmati menu sesuai dengan pilihan kami lengkap dengan teh manis hangat. Setelah menikmati makanan khas desa Tumpang dengan harga yang sangat murah, plus dengan rasa yang sangat khas pedesaan, kami memutuskan untuk tetap menunggu jeep yang akan membawa rombongan ke Bromo dengan penuh harapan kami bisa join. Dengan modal bertanya ke penduduk sekitar, kami sudah menemui beberapa travel Jeep yang ada didesa Tumpang, mecoba menghubungi semua nomor-nomor yang terpampang di baliho-balihp travel ke Bromo disana. Tapi hasilnya nihil. We didn't get it at all. Tidak ada jeep yang berangkat malam ini. "Hari ini jumat malam sih mas. Coba naiknya besok sabtu malam, pasti ketemu joinan jeepnya." kata seorang calo jeep. Tapi tidak mungkin kami berangkat besok. Waktu sudah tidak memungkinkan. "Jauh-jauh ke sini tapi gagal sampai Bromo?"

Ojek!! Yaa, ojek jawaban keresahan kami saat itu, kami memutuskan untuk naik ojek ke desa Tengger. Disekitaran tempat kami mencari jeep, ada sebuah pangkalan ojek. Dengan biaya yang lumayan "murah-mahal" Rp.150.000,- per-ojek (Pak Naskur 082198250699 - bisa untuk antar jemput desa Tumpang-desa Tengger). Berangkatlah kami dari desa Tumpang menuju desa Tengger. Naik Ojek ternyata bukan cuman hanya sebuah jalan keluar bagi kemacetan ibu kota, di sanapun ojek bisa menjadi sebuah jalan keluar. Keputusan akhirnya segera harus dibuat karena petang sudah mulai menyapa. Sang Magrib akan segera berkumandang. Tidak tenang rasanya jika kami masih menumpang di Desa Tumpang.

(Traveling with Ojek to Desa Tengger)

(The view along the way to Desa Tengger)

(The view along the way to Desa Tengger)

Sang senja menatap, langit mulai menggelap, suhu mulai tidak mengasihi. Tapi walaupun begitu, kami terkagum-kagum dengan indahnya alam yang kami lewati. Dimana aku? sedang kemana aku ini? Ini jalan ke Tengger atau ke surga? Apakah memang Indonesia ini sebuah tanah surga? 

"Pak ini benar jalan ke Tengger pak, ke Bromo?" Tanyaku sambil melongo memandang keindahan bukit-bukit yang dinamakan oleh orang-orange Bukit Teletubis.
"Iya mas, ini dia jalan yang mas mungkin pernah liat di Film "5CM", ya mereka lewat sini juga mas"

Ya Allah, sungguh besar karuniamu kepada negeriku ini.

"Tapi ini belum keliatan jelas mas, soalnya udah mau malam, besok pagi lebih keren lagi tuh mas pemandangannya."

Hati berdebar karena gairahku telah melebihi batasnya.

"Berapa lama yah pak kira-kira kita sampai ke Tengger?"

"Sejam dua jam lah mas kita sampai Tengger"

Dengan medan yang berat, jalan bertanah liat bukan aspal. Gelap yang mulai menghantui. Bermodalkan motor tua pak Naskur, kami menembus semuanya dengan sebuah harapan dan doa agar bisa sampai ketujuan dengan selamat. Maklum saja, dengan lampu motor yang agak redup berusaha menunjukkan jalan mana yang harus dilalui. Bukit Teletubis yang hijau, padang Savana yang sedang bermekaran, pasir berbisik yang ternyata memang bukan hanya sekedar nama, mereka benar membisikkan gemuru suara pasir. Semuanya kami tembus, kabut yang ditemani oleh kegelapan yang semakin mengancam. 

Desa Tengger... kami sampai.. kami disini. Sampai juga di sebuah penginapan yang di tunjukkan oleh pak Naskur sang tukang ojek penyelamat kami. Agak kasihan sebetulnya melihat pak Naskur dan temannya yang mengantarkan kami ke desa Tengger. Berangkatnya mungkin tidak terlalu bahaya karena suasana masih senja, masih ada matahari yang menyinari dataran tinggi itu walaupun dengan malu sudah mengeluarkan sinarnya. Namun bagaimana perjalanan pulangnya? Bukankah ini sudah malam? Entahlah, aku cuman bisa mendoakan beliau bisa sampai dengan selamat. Lokasi penginapan kami agak kedalam lokasinya tapi tidak terlalu jauh dari pusat keramaian. Sebuah penginapan dengan tarif Rp.150.000,- permalam dengan dua buah kasur keras yang menurut kacamataku tidak jauh beda dari sebuah kandang ternak. Tembok yang terbuat dari bambu-bambu, tempat tidur yang beralaskan kasur yang lumayan sangat keras. Terpikirkan olehku kalau isi busa kasur itu adalah hanya sebuah papan gabus, tapi entahlah. Lampu yang bersinar seadanya, ditambah dengan suhu dingin yang memang telah membunuh kehangatan. Tapi setidaknya kami selangkah lebih dekat dengan puncak gunung Bromo. 

"Dek, besok rencana kebromonya naik apa?" sapa penjaga penginapan.
"Maksud bapak naik apa? Bukannya bisa dengan berjalan kaki saja pak?" 
"Jalan bisa dek, tapi kurang lebih sekitar empat jam kalau mau sampai ke puncak titik sunrise Bromo, adek pasti akan sangat kecapekan nantinya.." Jawab bapak penjaga penginapan.

Sialnya, ternyata perjuangan memang masih sangat panjang!

"Terus alternative kesananya gimana pak?"

"Naik ojek saja, nanti saya carikan. Sekitaran Rp.100.000,- per-ojeknya."

Dengan bekal uang pas-pasan yang kami punya (memang sudah kami siapkan kalau budget harus kita batasi dan harus cukup) untuk menyewa ojek dengan harga segitu akan sangat berat buat kami. No ATM also in Tengger. Uang cash yang kami punya benar-benar sudah di batas limit. Rp.450.000,- adalah total uang kami berdua saat sampai di desa Tengger. Minus Rp.150.000,- untuk penginapan. Itu berarti sisa uang yang kami miliki adalah Rp.300.000,-. Jika dikurang lagi Rp.200.000,- untuk ojek ke puncak point sunrise, untuk makan kami bagaimana? Besok kami turun kembali kekota bagaimana? Semua diluar rencana, plan untuk menikmati Tengger dengan berjalan kaki ke puncak point sunrise harus dirubah!! Kami harus sewa kendaraan, tapi bagaimana ? Uang kami terbatas,  ATM mana ada didesa seperti Tengger ini. Besok kami juga akan sewa ojek kembali untuk sampai ke desa Tumpang sebelum kembali ke kota Malang. Rencananya kami ingin menggunakan jasa pak Naskur dan temannya kembali, tapi liat nanti. Rencana bisa berubah sewaktu-waktu. Sebetulnya bisa sih ojek untuk kembali ke desa Tumpang kami bayar ketika sampai disana, karena sudah terdapat banyak ATM di desa Tumpang. Namun dalam setiap trip travel kesuatu tempat, semua uang yang sudahku estimasikan harus cukup, no more ATM jika memang uang hilang atau ada kebutuhan yang memang sudah tidak bisa ditolerir.

Baiklah mungkin dengan mengisi perut dulu akan membantu untuk menyegarkan pikiran dalam menemukan sebuah solusi. Harga makanan di desa Tennger ternyata masih terjangkau:

Nasi Ayam Komplit : Rp.20.000,-
Nasi Goreng : Rp.15.000,-
Minum : Air putih saja (gratis)

Total : Rp.35.000,-

Sisa Uang: Rp.300.000- Rp.35.000 = Rp. 265.000.-

Kami mecoba mencari angin diluar sana, siapa tau nemu uang lembaran seratus ribu di jalanan. Tapi sepertinya memang mustahil hahaha, disini ramai sekali. Orang lalu lalang seperti tidak butuh tidur lagi. Tidak sabar untuk menyaksikan matahari terbit Sang Bromo. Pertanyaanku cuman satu, "kemana semua kalian ketika kami butuh tumpangan join jeep di desa Tumpang?" 
"Apakah kalian sudah lama stay di Tengger?"
"Kalian tau yah kami mau join? jadi kalian berangkat duluan?" hahaha yasudah lah.

"Dekk, Mau join Jeep buat nanti subuh"? tiba-tiba seorang pria lengkap dengan jaket kulit tebalnya menyapa kami ditengah khayalan yang menyalahkan setiap tourist yang sedang lalu lalang didepan kami.
"Emang ada yang butuh joinan Jeep pak?"
"Ada dek, Rp.200.000,- per-orang, mau?"
"Kami cuman punya Rp.250.000,- saja pak" Jawabku sambil murung.

"Rp.250.000,- yah? Kalau ngojek mau ngga? berdua tapi, satu motor kita bertiga. Saya antar ke puncak, besoknya ke kawah Bromo, Pasir berbisik, Padang Savanah, bukit Teletubis, dan kembali lagi ke desa Tumpang. Adek naiknya dari Tumpang atau Purbolinggo? Bagaimana?"

Tawaran yang menggiurkan namun sepertinya melelahkan, bonceng bertiga dengan sebuah motor Revo yang telah di modif hanya satu-satunya jalan yang bisa kami ambil saat itu.
"Oke pak, deal. Saya DP 50 ribu sebagai tanda jadi. Ini nomor saya 08912xxxxxxx, mana nomor bapak?" (sayangnya nomor bapak yang satu ini hilang di samrtphone saya).

Kamipun menentukan kalau titik point kita ketemu nanti subuh sekitar jam setengah empat subuh adalah di mana kita bertemu pertama kali.


Sekarang sudah sunyi, Wawan sudah tertidur lelap di ujung kasur dekat pintu. Sebetulnya aku khawatir jika abang-abang yang menawarkan ojek tadi ternyata penipu. Walaupun uang Rp. 50.000,- bukankah jumlah yang besar, namun dalam situasi seperti saat ini lima puluh ribu merupakan nominal uang yang sangat berarti. Apa jadinya jika nanti subuh dia tak kunjung datang? Bagaimana jika dia ketiduran dan kami melewatkan indahnya matahari terbit gunung Bromo yang begitu didambakan setiap traveler di negeri ini? Bagaimana kalau ini, kalau itu? ...
"Bagaimana kalau kamu tidur saja? Tidak ada gunanya berandai-andai, negative lagi!" Batinku seolah berbicara kepadaku.

Kupejamkan kedua kelopak mataku, sepertinya memang mereka sudah sangat lelah menatap. Pikiran yang masih belum berdamai perlahan meredakan egonya. Sang mata terlelap, tenggelam dalam sunyinya malam walau sang pikiran dalam hatinya masih memberontak.


"Kringggg......" Seseorang menelpon ke smartphone ku.
"Iya, siapa ini?"
"Mas sudah bangun? sudah siap belum? Ini saya yang semalam mas."

Dengan sigap aku terbangun, mencoba menenangkan pikiran dan sejenak tersadar kalau petualangan akan segera dimulai kembali.

Gelap... Masih belum terlihat apa-apa disini. Aku duduk di jok motor paling belakang. Abang tukang ojek yang aku lupa namanya mengendarai motor Revonya dengan piawainya. Wawan tepat berada di tengah kami. Bayangkan saja dengan suhu yang mungkin sudah mendekati minus derajat, jangkauan penglihatan yang masih sangat terbatas, aku juga harus berjuang untuk menahan lelahnya kedua paha menopang badan sendiri. Apa boleh buat, sudah tidak ada pilihan lain.

Aku bisa merasakan kalau sekarang kami sedang melewati padang Savanah, bisikan pasirnya sudah tidak asing lagi bagiku. Mataku mungkin mengalami keterbatasan dalam penglihatannya, tapi tidak untuk kedua telingaku. Roda yang terus berputar tapi pasir seolah enggan untuk dilewatinya. Roda yang bertemu dengan pasir bagaikan api yang coba dipertemukan dengan air. Sangat susah untuk selaras satu sama lain. Namun abang tukang ojek yang aku lupa namanya mampu mengatasi semuanya. Sepertinya dia sudah sangat berpengalaman dengan semua ini.

Tidak terasa sekarang sudah mulai melalui tanjakan. Lampu-lampu jeep sudah mulai terlihat. Begitu ramai sekarang. Sudah terlihat banyak orang-orang yang sama semangatnya dengan kami. Berjuang demi menyaksikan bangunnya sang mentari. Tapi aku rasa belum ada diantara mereka yang perjuangan seberat kami disini. Sungguh tidak nyaman bonceng bertiga melewati lembah padang pasir, tanjakan gunung, terlebih lagi kalau kamu duduk paling belakang. Seolah-olah kamu terus menopang badan kedua orang didepanmu. Motor tetap terus digas, roda terus berputar, harapan semakin menyala. Tempat dimana kami bisa menyaksikan matahari terbit sudah di depan mata. Kami sampai. Kami sudah berada tepat didepan sebuah tangga dengan puluhan anak tangga. Di atas sana nanti kami bisa menyaksikan matahari itu. Kami akan menyaksikan sebuah keindahan alam dimana sang Matahari menyapa sang maha agung gunung Bromo yang dihiasi oleh kabut putih yang sangat menawan.

Inilah alamku, inilah surga negeriku. Ya Allah, sungguh indah negeri ini. Bagimana bisa seindah ini? Tersenyumkah Engkau saat menciptakan negeriku ini? Sedang berbahagiakah Engkau saat itu? Bahkan orang-orang dari barat sana berdatangan, berlarian hanya untuk menyaksikan sebuah lukisan maha karyaMu ini. Tetesan air mata membasahi pipiku. Airnya terasa hangat sampai ke hati. Entah kenapa aku menangis. Menangis bahagiakah karena kini aku akhirnya benar bisa menyaksikan sebuah keindahan yang termasyhur sampai pelosok negeri itu? Menangis bahagiakah karena kedua paha ini sudah bisa duduk dengan layak? Atau sebetulnya aku menangis menanyakan pada diri sendiri tentang apa yang bisa aku lakukan untuk bangsa ini? Apa yang sudah aku lakukan untuk bangsa ini? Apakah aku sudah menjaganya sepenuh jiwa raga seperti pesan para leluhur kami terdahulu?

Tak bisa rasanya mata ini untuk sejenak berkedip. Sayang rasanya untuk melewatkan keindahan tanah surga ini walau hanya untuk setengah detik. Matahari dari ujung barat begitu gagah menerjang langit malam. Mengusir ketakutan malam menebar harapan baru untuk sebuah pagi yang baru. Ku bersujud kepada Allah SWT. Ku jalankan kewajibanku sebagai umat Nya. Di sujud akhirku, kupanjatkan doa untuk kedua orangtuaku dan untuk negeriku tercinta. Sedih rasanya jika mengingat bahwa di luar sana orang-orang masih memandang rendah negeriku ini. Padahal kami itu begitu indah, kami begitu luar biasa. Kami begitu gagah segagah gunung Bromo. Hanya sayang generasinya saja masih banyak yang kurang bersyukur. Banyak diantara kami masih serakah dan rakus. Buktinya masih banyak pemimpin negara ini yang tertangkap oleh KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Negeri ini masih jatuh. Negeri ini belum bangkit. Merdeka hanya sebuah nama tanpa sebuah arti yang sesungguhnya. Masih banyak yang mementingkan kepentingan pribadi tanpa melihat dan peduli sekitar. Itulah negeri ini. hahaha anyway kenapa aku jadi ngomongin politik? Yasudahlah..

Below are some photos that I took there and already been uploaded on my Instagram.


(sunrise Bromo)

(Bukit Teletubis)

(Kawah Bromo)

(Padang Savanah)

(Pasir Berbisik)

Selepas menikmati indahnya sunrise, aku, Wawan, dan bapak tukang ojek yang aku lupa namanya, melanjutkan perjalanan kami dikawasan Bromo, tentunya dengan kembali bonceng bertiga sebelum kembali ke desa Tumpang. Setelah kudaki kawah Bromo yang statusnya masih aktif, aku berlari ke padang pasir dan kembali kudengarkan bisikan pasir di "Pasir Berbisik". Ku tertawa lepas, ku berteriak sekencang-kencangnya di padang Savanah yang ditumbuhi oleh ribuan bunga lavender yang baru bermekaran. Cantik sekali ya Tuhan. Sungguh indah karuniaMu. Belum selesai itu semua kini aku terdiam disambut lapisan bukit Teletubis bagaikan padang hijau yang dikirim oleh Tuhan dari langit. Perjalananku kali ini akan menjadi sebuah cerita dalam kehidupanku. Aku selalu bangga dan akan selalu bangga menceritakan bagaimana kisahku dengan Tuan Bromo. Karena bukuku kini punya cerita bersama Bromo. 

(Tips waktu yang tepat ke Bromo adalah sekitar bulan April atau setelah musim hujan dan jika kamu sendiri atau berdua, ojek bisa menjadi alternative jika kamu memiliki limited budget)

4 comments: