Malam itu berbeda bagi dia, saat ini dia masih terus
merasakan kehangatan malam itu. Dia disentuh dengan hangat, dia menutup mata
membiarkan akal dan perasaannya yang merasakan semuanya. Dimensinya berubah
seperti sesuatu yang tidak nyata, wajahnya tersentuh oleh garis garis kulit
telapak tangan yang sangat jelas terasa. Desahan nafas seolah bagaikan tiupan
angin dipadang hijau disertai guguran daun, sungguh terasa angin nafas itu,
menusuk hingga ubun ubun dan membuat dirinya hanya bisa terdiam,
termenung dalam kegelapan cahaya. Matanya tetap tertutup seolah olah dia masih
tertidur dengan lelap menikmati semua sentuhan itu.
Dia hanya diam, tetap menutup matanya, dia takut kalau
ternyata ketika dia membuka matanya, terbangun, dan seketika sadar kalau semua
itu hanya sebuah imajinasi tidur yang disebut mimpi.
“Buka, tidak, buka tidak”, batinnya terus bertanya. Disatu sisi
dia ingin mengetahui apakah ini memang sebuah kenyataan, kenyataan kalau dia
begitu dekat dengan orang yang dikagumi. Jemari itu sungguh nyata menyentuh
tiap inci mukanya, seakan akan signature dari jari itu sudah sangat bersahabat
dengan tubuhnya.
Dia takut ketika membuka mata, mimpi itu akan berakhir,
hilang sekejap bagai lilin ulang tahun yang ditiup dan berakhir hanya dengan
sebuah harapan yang tidak tahu kapan akan tercapai.
Matapun memantapkan egonya, merdeka untuk melihat. Sosok itu
nyata yang dilihatnya tepat didepan matanya adalah sebuah leher dengan keringat
khas yang dikenalnya, sungguh wangi baginya, logikanya sudah lari, mana mungkin
ada keringat yang wangi, yang ada hanya kecut. Jemari itu kini berjalan kecil
kelehernya meraba dengan kehangatan. Terlihat, sekarang jelas terlihat dengan
kedua bola matanya, bukan hanya perasaan yang merasakan tapi mata sekarang ikut
campur untuk mendapatkan haknya untuk menikmati kejadian itu.
Namun pada akhirnya diapun tersenyum kecil ketika menatap
orang yang dia puja itu ternyata sedang tertidur, mungkin sedang bermimpi, “mungkin
bukan saya yang ada dalam mimpinya, bisa saja orang lain yang ingin dia capai”.
Tapi dia tidak sekecewa itu, dia tetap senang, "terkadang dia memang lebih baik
tertidur, dia lebih baik tertidur dengan mimpinya, karena aku bisa memilikinya
seutuhnya…"
Anna, 20th
No comments:
Post a Comment