Tuesday 25 August 2015

Boys Play With Freshness


Kali ini bukan sebuah cerita yang ingin aku bagi, terlebih hanya sebuah pengalamanku dalam menghilangkan belenggu kepenatan hidup di ibu kota Jakarta bersama dengan kehidupan di dalamnya. Tidak selamanya harus pergi jauh untuk bisa bermain dengan alam. Di Jabodetabek juga masih menyimpan kekayaan alam itu, tapi apakah kamu tahu? Apakah mereka tahu di mana itu? Can boy still play with freshness around the big city?

Leuwi Hejo, Bogor

Matahari masih sunkan menunjukkan rupanya, warna si langit pagi pun masih malu-malu bagai warna merah muda di pipi ketika sedang bertemu dengan kekasih pujaan hati. Suasana di kereta kota yang baru saja meninggalkan Stasiun Gondangdia menuju Stasiun Bojong Gede pun masih sunyi. Sambil duduk aku membaca sebuah novel Jakarta Cafe, tapi apa daya perhatianku harus teralihkan kepada sinar matahari yang tembus melewati jendela kereta yang tepat berada di depanku. Ku merasakan pagi yang sangat hangat dan bersahabat. 

Hari Minggu mungkin memang hari favorit bagi hampir semua pekerja kantoran di Jakarta, bisa bebas dari rutinitas pekerjaan, macet, polusi, dari semuanya. Hari minggu menjadi sebuah pelarian bagi mereka sebelum besoknya harus kembali bekerja. Di hari Minggu, aku pun selalu bertanya pada diri sendiri kemana aku hari ini?

Kereta berjalan dengan lancar menuju Stasiun Bojong Gede, dengan melewati beberapa stasiun pemberhentian dalam kota, kurang lebih sekitar satu jam perjalanan, aku sudah tiba di daerah Bogor. Aku melangkah keluar kereta, aku sudah bisa menghirup udara segar pagi Bogor, lumayan berbeda dengan udara pagi di Jakarta. Temanku Ziko pun sudah menunggu di pintu keluar dengan motor bebeknya untuk menjemputku. Kami siap untuk memulai sebuah petualang kecil hari itu.

Aplikasi Waze adalah kompas kami hari itu, sedikit dibantu juga dengan beberapa petunjuk arah dari warga sekitar ketika si Waze sedang error. Tujuan kami adalah sebuah curug di sekitar daerah Sentul. Kami akan pergi ke sebuah curug bernama Leuwi Hejo. Belum begitu banyak orang yang mengetahui tempat itu, mungkin sebagian besar traveller tau, tapi tidak untuk masyarakat luas. Kami ingin mandi air segar, air alam, bukan air yang ada di bak mandi rumah. Bermain dengan alam bagi anak laki-laki adalah sebuah kegemaran, biasanya mereka akan menjadi liar dan akan lupa segalanya ketika sudah terjebak dalam keindahan alam. Sudah sekitar sejam lebih kami berjalan mengendarai motor, daerah perumahan Sentul yang aku tidak tahu namanya pun sudah kami lewati. Pohon-pohon yang rindang  sudah mulai menunjukkan rupanya. Penampakan di depan mata perlahan berubah menjadi sebuah surga kecil ditemani dengan sejuknya udara pagi. Motor terus berjalan, kami semakin meninggalkan daerah perkotaan menembus sebuah peradaban yang lumayan berbeda dengan peradaban kami.

Semua hanya dengan bermodalkan aplikasi Waze dan bertanya pada warga, perjalanan kami lumayan mulus tanpa harus tersesat. Curug ini ternyata sudah begitu terkenal di daerah Sentul, hampir semua warga sekitar mengetahui keberadaan lokasi curug itu ketika kami tanyai. Selain itu kami tertolong juga oleh beberapa petunjuk jalan yang bisa diikuti hingga kami nanti tiba di curug. Perjalanan kami memang mulus tanpa tersesat sama sekali, namun bukan berarti akses jalan kesana mudah bagi kami!! Ketika kami sudah memasuki pedesaan Karang Tengah (tepat setelah melewati plank Selamat Datang Di Wisata Alam Curug Bengkok Leuwi Hejo dan Curug Barong), kami melewati jalan setapak kecil yang rusak parah dan sangat terjal. Jalur tersebut merupakan akses utama untuk sampai ke Lewu Hejo. Memang harus berjuang dulu, dibutuhkan usaha keras, dan harus merasaka sakit terlebih dahulu sebelum nantinya sampai. Tapi sepertinya sangat disayangkan kalau jalanan yang susah dilalui itu mampu merusak mood orang yang melewatinya. Berusaha nikmati saja perjalanannya. Dianalogikan saja seperti sebuah perjuangan dalam meraih mimpi. Prosesnya pasti akan susah, tapi dengan menikmati prosesnya, susahnya tidak akan terasa, nanti kalau sudah tercapai, akan terasa indah juga, sama seperti perjalanan ini, kami berusaha meinkmati perjalanannya dan ternyata benar, belum juga sampai di tujuan, pemandangan benar-benar sudah memanjakan mata.

Di semua sudut terlihat begitu indah, kepala belum selesai menoleh kiri, langsung menoleh kekanan karena kebingungan pemandangan manakah yang harus dinikmati. Kami teriak, kami menggila, tidak terbayangkan saja, masih ada tempat sekeren ini di sekitar Jakarta. Hati terus mengucap syukur kepada Sang Pencipta atas karuniaNya itu. Sawah yang berlapis-lapis dengan warna hijau yang menyegarkan mata terpampang luas di sepanjang jalan kami. Mungkin ini adalah Ubud versi Bogor. Keindahan di negeriku ini memang tidak pernah mengenal tempat.

(Keindahan sawah di sepanjang jalan kami)

Sayangnya aku sampai lupa untuk mengabadikan semua moment selama di perjalanan dengan kameraku. Aku terlalu bersemangat, terlalu menikmati, jadi kamera yang tersimpan didalam tas hanya aku gunakan sesekali. Sekitar jam 09.00 kami sudah sampai. Ternyata banyak juga orang yang berdatangan ke tempat itu, mungkin karena hari Minggu juga, jadi orang-orang memiliki waktu yang luang untuk mepelaskan sedikit stress dari pekerjaan. Kembali sebuah Baliho dengan bertuliskan wisata alam Leuwi Hejo pun terlihat. Dengan tiket masuk sebesar Rp.10.000 per-orang dan ditambah Rp.5.000 untuk parkir motor merupakan harga yang terhitung wajar bagiku. 

Dari parkiran motor aku sudah bisa memprediksi kalau orang yang berdatangan ketempat ini lumayan ramai. Sejenak aku kecewa, karena alam sebetulnya lebih enak dinikmati dengan kesunyian, dimana aku bisa menjadi tuannya untuk sesaat. Tapi apa daya, toh juga sudah sampai, toh juga tempat ini untuk umum, dan toh juga nantinya aku masih bisa untuk mandi mandi. Kami harus melanjutkan perjalanan menuju curug dengan berjalan kaki, tidak terlalu jauh dari tempat parkir mungkin hanya sekitar 15-20 menit. Dengan hembusan angin sepoi-sepoi kami berjalan menelusuri jalan setapak bebatuan. Tidak usah takut untuk kelaparan disana, karena selama perjalanan dari pos masuk tadi, kami melewati begitu banyak warung-warung warga yang menyediakan berbagai makanan dan minuman, walaupun pagi itu rata-rata warung-warung tersebut masih tutup. 

(Warung-warung yang kami lewati selama perjalanan)

Setelah melewati warung-warung tadi, tidak jauh setelahnya, suara gemercik air sudah terdengar dengan jelas. Itu berarti kami semakin dekat. Tepat di depan mata kami, sudah terlihat aliran sungai kecil dengan air yang sangat jernih lengkap dengan batu-batu sungainya. Begitu segar, sangat menggoda kami untuk sekedar merendam kaki disana sebelum kami benar-benar bermain dengan air nantinya.

(Anak sungai menyambut kedatangan kami)

(Meyegarkan kaki)

Semakin tidak sabar saja hatiku untuk segera bermain air. Sudah lama rasanya aku tidak merasakan dinginnya air curug, sudah lama juga tidak merasakan pijatan alami aliran air sungai. Dengan sedikit kembali berjalan, kemudian menyebrangi jembatan bambu yang hanya kurang dari lima meter panjangnya, sebuah air mancur yang tidak terlalu besar tapi juga tidak juga tehitung dalam skala kecil menyambut kami dengan ramahnya. Suara air yang begitu merdu ditambah sorakan bahagia para manusia seolah menjadi sebuah perpaduan harmoni sebuah alunan musik. Kolam air yang hijau tepat berada di bawah air terjun yang sudah ramai oleh pengunjung itu bagaikan sebuah surga kecil yang tersembunyi. Keindahan dan kesegaran alami yang tiada tara. Dengan kembali membayar sebesar Rp.5.000 per-orang (tiap curug akan dikenakan biaya masuk kembali), kami sudah diperbolehkan untuk berlari melepas rindu dengan air alam.  Ayo koo, lompattt, buruuu... Kami berlari, barang-barang kami letakan begitu saja di atas batu yang terletak diujung kolam alam. Kami menjadi liar, kami segera ingin berteman dengan si alam tanpa memperdulikan orang-orang yang sudah datang terlebih dahulu.

Melompat ke bawah dari atas curug adalah favoritku. Ada sebuah filosofi juga yang aku pelajari dari sana. Melompat memang menakutkan, mendebarkan jantung, tapi terkadang kita tetap harus melompat, kita harus menantang diri untuk melawan rasa takut. Melawan ketakutan terkadang memang menjadi musuh terbesar seorang manusia. Ketakutan terkadang tega menjebak si tuannya untuk tidak melangkah kemanapun tuannya mau.

(Curug Leuwi Hejo)

(Kolam hijau di bawah curug Leuwi Hejo)




Selain Leuwi Hejo, masih terdapat beberapa curug di area itu, salah satunya adalah Leuwi Liyet. Kami harus mendaki pegunungan terlebih dahulu untuk bisa sampai kesana. Fisik setidaknya harus prima untuk mendaki. Pendakiannya lumayan memakan waktu, mungkin sekitar 40 menitan lebih (kalau fisik sedang dalam keadaan kuat dan prima), ditambah lagi kemiringan tanjakannya yang lumayan mengurus tenaga kaki. Tapi aku yakin semua akan terbayar ketika nanti kami sampai, semua butuh yang namanya perjuangan. Ternyata benar, masih dalam perjalanan saja, kami bisa menikmati keindahan alam pegunungan dan pepohonan dari ketinggian. Aku seperti sedang mendaki gunung saja, pemandangan yang aku nikmati sama persis ketika sedang mendaki gunung.

(Pendakian menuju Leuwi Leyit)

(Pemandangan selama pendakian)

Awalnya aku kira disini akan lebih sepi, mengingat jalur yang berat harus dilewati untuk sampai di curug Leuwi Leyit. Tapi ternyata aku salah, disini bahkan lebih ramai jauh diluar dugaanku. Sudah banyak orang yang sedang bermain dengan sahabat mereka. Semua terlihat bahagia, semua terlihat menikmati waktu mereka. Alam menghadiakan manusia kenikmatan yang luar biasa. 

Aku dan Ziko memutuskan untuk menikmati saja pemandangan alamnya. Sudah cukup kami bermain air tadi di Leuwi Hejo, kami sudah lumayan lelah juga mendaki untuk sampai di sini. Tiduran di bebatuan yang besar, menikmati lagu-lagu favorit menggunakan headset adalah pilihan yang tepat. Sungguh kenyamanan yang tiada ternilai. Walaupun kami kelaparan dan kehausan, namun pepohonan hijau seolah mengenyangkan perut kami, aliran sungai yang dingin mampu menghilangkan dahaga dalam tenggorokan. Ajaib.

(Curug Leuwi Leyit)

(Menikmati alam saja)

(Selfie)

Di tempat ini bukan hanya curug saja yang bisa ditemui, di perjalanan masuk tadi aku melihat hamparan pesawahan yang indah, masih hijau, bertumpuk dan berlapis. Mataku terpesona, hatiku berbisik sayang kalau dilewati begitu saja. Sebelum meninggalkan tempat itu, kami memutuskan untuk meluangkan waktu kami sejenak untuk menikmati sawah-sawah itu, sekedar untuk memuaskan nafsu yang ingin merasakan suasana pedesaan. Sungguh bersahaja, walau terik matahari begitu menyengat, tapi kesejukan tetap terasa. Warga-warga sekitar juga sangat ramah, seorang bapak tua yang sedang bertani memperbolehkan kami untuk sekedar duduk-duduk di rumah sawahnya tanpa merasa terganggu sama sekali. Segerombolan anak kecil mengikuti kami yang ternyata pengen difoto olehku, diliatnya aku yang menggantungkan kamera di leherku. Indonesia memang terkenal oleh masyarakatnya yang ramah-ramah. Sebelum kami meninggalkan tempat itu kami mengucapkan pesan kepada bocah-bocah bocah pedesaan si penerus bangsa "Dek sekolahnya yang rajin yah"

(Berlarian di sawah)

(Bersama bocah-bocah)

(Senyuman pak petani)

Selalu banyak pelajaran yang bisa aku petik disetiap perjalananku. Disini aku belajar kalau ingin mendapatkan sesuatu, memang sudah hukumnya dibutuhkan yang namanya sebuah perjuangan. Tapi menikmati prosesnya yang terkadang dilupakan, padahal itu krusial. Menikmati proses bisa membuat kita tetap berjalan lurus untuk mencapai garis akhir. Terkadang kita harus melawan rasa takut sendiri jika tidak ingin terjebak akan diri sendiri. Entah ini adalah sebuah cerita atau bukan, bagiku ini sebuah pengalaman dan informasi yang ingin aku sampaikan ke banyak orang kalau masih banyak diluar sana pengalaman yang bisa kita cari. Tidak mesti jauh. I wanna let you know that boys always can play with freshness wherever they are, even around the city. The beauty of this country is everywhere.


TIPS : Untuk pergi kesana sebaiknya menggunakan motor, karena sepertinya tidak ada kendaraan umum untuk kesana. Sebaiknya juga tidak menggunakan mobil, sayang saja, karena jalurnya yang lumayan rusak parah, sempit dan curam.

No comments:

Post a Comment