Saturday 15 August 2015

Walking Under The Golden Sunrise



2015

Yogyakarta - Sukoharjo - Dieng


Emang karena dasarnya suka traveling kali yah, ketika dapat wedding invitation di Tanah Jawa Sukoharjo, benar-benar  aku manfaatkan. Ibarat kata "sekali dayung dua tiga pulau terlampaui" atau ngga "sekali menyelam minum air". Kayaknya sayang aja kalau seorang backpacker pergi jauh hanya untuk menghadiri sebuah pesta "Masa ke Sukoharjo doang, kemana setelah itu..?" Dataran tinggi Dieng yang terkenal dengan Golden Sunrise nya pun jadi pilihan. Sepertinya ceritaku akan seru jika bermain-main disana. Walking under the Golden Sunrise sounds nice. However I will stop by in Yogyakarta for awhile to play with my memories.

Melamun terkadang mengasyikan. Pandangan kosong dengan tangan yang terus mengaduk chocolate panas yang entah kapan akan diminum. Detik terus berputar, mataku masih terus memandang kosong menembus objek di luar kaca jendela cafe Sabang 16 tempatku nongkrong. Aku suka berada di tempat ini. Tempatnya sangat tenang. Walau banyak orang, tetapi suasananya tetap nyaman dan yang paling penting, aku bisa merasakan kesendirianku disini. 

Kubuka kalender di handphoneku untuk mengecek jadwalku. Ternyata sebentar lagi 2 Agustus 2015, tanggal pernikahan salah satu sahabatku (Mba Fitri). Belum ada persiapan sama sekali yang sudah aku lakukan, padahal acara yang digelar di Sukoharjo tinggal seminggu lagi. "Sebentar.. Otakku seakan stuck di kata Sukoharjo? anyway bukannya kota itu berada di dekat Solo?? Solo kan dekat dengan Yogjakarta? Ke jawa lagi dong? Hhhmm.... 

Bagiku tanah Jawa Tengah merupakan tempat yang penuh dengan kenangan. Tapi serius ke Yogjakarta lagi? Sepertinya sudah terlalu sering aku kesana. Walaupun Yogjakarta memang selalu mengesankan bagiku dan selalu dirindukan, tapi takutnya nanti malah bosan kalau keseringan kesana. Takutnya sudah tidak ada rasa rindu lagi nantinya, tidak romantis lagi. Terus kemana tapi yah setelah acara pernikahan itu?? 

Seolah semuanya sudah terencana, tiba-tiba jawabanpun datang...

"Cok, abis dari nikahan mba kita ke Dieng tu'?" sebuah pesan Line dengan logat khas Parepare masuk di handphone ku. Ternyata pesan dari Wiwik sahabat lamaku di Parepare.
"Serius Wikk? Ayokmi, lama sekali meka mau kesana tapi tidak ada temanku kesana" Jawabku penuh dengan semangat.
"Seriusko nah? nanti ku ajak anak-anak yang lain yang ke acaranya mba. sewa meki mobil saja dari Sukoharjo"
"Okemi. saya deal meka"

Seketika suasana yang tadinya sepi senyap berubah. Chocolate yang kini sudah dingin, telah habis aku minum dengan sekali teguk bak orang kehausan tapi juga kesurupan. Tiket kereta ekonomi round trip Jakarta - Yogyakarta (Rp.390.000,-) telah aku beli kurang dari 5 menit (menggunakan aplikasi Padi Train). Sudah lama sebetulnya aku ingin pergi kesana, tapi apa daya tidak ada rekan yang menemani. Mungkin belum waktunya.

Beberapa hari kemudian..

Semua barang sudah siap, perlengkapan buat tracking juga semua sudah lengkap. Let’s go, it’s time to go somewhere again. Walau sebenarnya acara utamanya adalah menghadiri pesta pernikahan sahabat ku, tapi tidak ada salahnya jugakan sambil menyelam minum air hehehe.. 

Sabtu, 1 Agustus 2015 jam  05:30 pagi.

Selepas solat subuh dengan bantuan Go-Jek (Rp.10.000,-) tibalah saya di Stasiun Senen.. Yogjakarta my lovable city I am coming... Dieng, let me introduce my self to you then...

Kereta mulai melaju perlahan meninggalkan Jakarta. Aku memandang keluar jendela kereta. Di pagi yang masih buta itu, aku asyik menyaksikan setiap suguhan yang dihidangkan oleh si jendela kaca.  Menikmati pemandangan apapun yang ada di luar sana selama perjalanan selalu menjadi favoritku kalau sedang bepergian dengan kereta. Kini keretanya sudah melaju dengan cepat melewati perbatasan kota Cirebon. Pemandangan di balik jendelaku sudah mulai berganti. Kini hanya ada sawah yang luas, pepohonan yang rindang, dan pegunungan yang menyampaikan salamnya dengan lembut. Duduk sendiri sambil mendengarkan album-album Sheila On 7, sungguh aku suka bepergian, bepergian kesuatu tempat, aku suka tanyangan dibalik kaca jendela kereta itu, di sana ada banyak kenangan-kenangan yang mampu membiusku sampai mata terlelap menembus alam bawah sadarku.

Tertidur dengan lelapnya…

Aku terbangung, petugas sedang memeriksa tiket para penumpang untuk memastikan kalau tidak ada penumpang gelap dalam kereta. Aku lumayan salut dengan fasilitas kereta ekonomi saat ini. Jika dibandingkan dengan gambaran kereta ekonomi dijaman dulu yang belum pernah aku coba sebelumnya sih, sekarang ini sudah jauh lebih baik. Fasilitas AC (Air Conditioner) selama perjalanan, colokan listrik yang tersedia di setiap tempat duduk penumpang, lantai yang bersih, dan Pelayan kereta yang lumayan bersahaja sudah cukup bagiku. Puas dengan semua fasilitas dan pemandangan di jendela kereta, tidak terasa aku akan segera tiba di Stasiun Tugu Yogjakarta, sekitar 1-2 jam lagilah. 

Handphoneku bergetar, sebuah pesan line masuk “Cok dimana meko? Jam berapa ko sampe kira-kira?” 
“Sebentar meni, mau mi ini” Balasku dengan sebuah stiker smile.

Tak lama setelah itu, akhirnya aku tiba di kota Yogyakarta, kota seribu kenangan bagiku. Tidak perlu aku ceritakan kenanganku di Yogjakarta. Suatu hari nanti akan aku ceritakan kenangan-kenanganku di sana.

“Wiii, sampai meka. Dimanako?” Pesan line terkirim…. Namun belum ada balasan.
“Aniii, kalian dimana? Sampai meka ini” Pesan kembali dikirim ke orang yang lain… Namun belum ada balasan juga.

Sambil menunggu mereka, aku putuskan untuk keliling-keliling dulu. Paling di sekitaran Tugu atau Malioboro. Jarak dari Stasiun Tugu ketempat-tempat itu memang sangat dekat, mungkin sekitar 10-15 menit dengan berjalan kaki. Suasana sore yang bersahabat. Aku terus terkenang akan ceritaku di Kota ini. Tapi kali ini aku tidak mau terbawa perasaan, aku ingin menikmati kotanya bukan kenangannya. 

Sebelum berjalan lebih jauh, aku putuskan untuk mengisi perutku dulu di warung nasi kucing yang tidak jauh dari Stasiun Tugu. Dua bungkus nasi kucing yang berisikan ikan teri, dua buah gorengan bakwan, dan segelas es the manis. Semuanya hanya dengan Rp.7.000 saja dan perut saya kenyang. Terinya mantap banget!!

Setelah mengisi perut, aku melajutkan perjalanan, tujuan pertama ke Malioboro, sang primadona Yogyakarta. Disini selalu ramai oleh wisatawan asing maupun local. Sepanjang jalan bisa ditemukan jualan beraneka ragam. Mulai dari Batik, kaos bertuliskan I Love Yogjakarta, makanan dan jajanan, aksesoris, dan masih banyak lagi. Aku paling suka liat kuda-kuda yang rapih berjejeran di sepanjang jalan, uniknya beberapa pak kusirnya menggunakan pakaian khas Jawa lengkap dengan Blankon. Aku rasa sudah cukup keliling Malioboro. Sekarang sudah sore, tapi belum satupun diantara teman-temanku yang membalas pesan line ku. Yasudah sekarang lanjut saja dulu ke Tugu. Toh mereka tidak akan ke Sukoharjo tanpaku, dibanding cuman diam, mending enjoy the vibe iya ngga? 


(Jalan Malioboro)

(Jalan Malioboro)

Jadi rencananya kita akan langsung ke Sukoharjo sore ini juga, sebelumnya sudah disiapkan mobil travel oleh yang punya hajatan, cuman entah karena apa, si “Mobil Travel” itu membatalkan untuk menjemput kami. Jadinya kami harus ke Solo menggunakan kereta lokal, nanti disana kami baru akan dijemput oleh keluarga Mbak Fitri.

“Cok, dijalan meka sama anak-anak mau ke Malioboro nah” line dari Wiwik.

“Ohhhh, dimana ko kah? Kenapa baru kau balas line ku?”

“Maaf cok, tidak ada signal tadi di Taman Sari”

“Ohhhh oke mi penk, lagi OTW ke Tugu ka dulu ini. Mauka jalan-jalan”

“Ohhh iaa, tapi bisa ko tidak beli dulu tiket ke Solo untuk 8 orangki (termasuk rombongan teman kuliah mba Fitri yang juga ingin menghadiri acara pernikahan itu), karena itu saudaranya mba cuman bisa jemput di Solo. Jam 16:30 mi nah”

Jalan yang tadi arahnya lurus ke arah Tugu sekarang berputar balik dan belok kiri kembali menuju Stasiun. Tepat dibelakang Stasiun terdapat sebuah gedung yang berisi loket penjualan tiket lokal ke area sekitar kota Yogyakarta. Antrian yang panjang dan orang-orang yang begitu ramai. 

“Halo wiiii, saya belimi ini tiket nah. 20 ribu perorang jam 16:30”

“Apa kobilang? Nda ku dengar jelaski”

“Ku beli mi ini tiket nahhh”

“Mas kalau belum tau jadwalnya silahkan mundur dulu, biar yag lain duluan dulu” Mba-mba penjaga loket sudah mulai sewot”

“Yaudah mba tiket ke Solo jam 16:30 untuk delapan orang”

Enak saja mundur lagi, udah ngantri lama-lama. Langsung aku beli saja tiketnya. Setelah semua sudah beres, aku meninggalkan Stasiun Tugu dan melanjutkan jalan-jalan soreku ke Tugu. 

“Wiik saya sudah beli 8 tiket , 20 ribu pertiket untuk jam 16:30” Message line terkirim. 

Seketika..

“kriiiingggggg” Ani menelpon.
“Halo, kenapa anii?”
“Weee sotta, siapa suruh ko beli tiket jam setengah lima!! Masih di Magelang itu rombongan yang lain. Paling jam 6 baru sampai di Yogja”
“Aiii nda ku tau. Karena tidak nekasi tau ka juga wiwik kalau dirubah lagi rencananya..”
“Ohhh ia biar mi penk, tidak jelas benk tadi suaramu di telpon”
“Nanti pi saja pas kumpul semua ki baru beli tiket kembali, supaya tidak salah-salah mi lagi”
“Iyo penk”

Ini sebetulnya alasan kenapa aku tidak begitu suka travelling dengan jumlah orang yang banyak. Sebenarnya seru sih, cuman controlling dan managing nya itu yang ribet. Paling top memang traveling sendiri hehehe. Mau kemana saja terserah, mau makan apa saja bisa, mau tidur dimana saja, bebas!! Karena mungkin level nyaman ku dengan orang lain berbeda. Tidak apa-apa, toh sekarang ini bisa jadi sebuah cerita yang bisa aku ceritakan. Sebenarnya agak disayangkan juga tiket yang telah kubeli dengan harga Rp.160.000,- untuk berdelapan tidak akan kami gunakan karena adanya misinformation diantara kami.

Baiklah jalan-jalan sore aku lanjutkan kembali. Waktu sangat sayang jika hanya dihabiskan di Stasiun Tugu untuk menunggu. Kurang dari 15 menit aku berjalan, kini sudah berdiri tepat di depan persimpangan Tugu. Kendaraan lalu lalang. Banyak remaja seusiaku berfoto dengan berlatar belakang Tugu. Sepertinya memang tidak pernah sepi di area ini. Tugu memang terkenal sebagai icon kota Yogjakarta. Dengan kamera mirrorless Lumix GF6, aku coba mengabadikan moment di sekitaran Tugu dengan membuat sebuah stop motion. Tidak lama setelah itu handphoneku berdering, Ani memanggil.

“Cok.. Dimana ko? Sampe meki semua di Stasiun Tugu”
“Ohhh ia tunggu meka, sekitar 15 menit tapi nah, lagi buang air besar ka dulu ini” Jawabku dengan sedikit berbohong hehehe. Soalnya kameraku sedang ditengah proses pengambilan gambar stop motion. Sayang saja kalau harus diselesaikan, sebentar lagi juga kelar..

Setelah semuanya beres, kami akhirnya bertemu di Stasiun Tugu. Semua sudah lengkap, termasuk rombongan teman kuliah Mbak Fitri yang baru saja datang dari Magelang. Mereka habis mengunjungi Candi Brobudur. Awalnya agak sulit menentukan titik point pertemuan kami. Lucu sih, kami seperti sedang bermain petak umpet, saling mengarahkan dengan arahan yang salah dan sok tau.

“Cok di pintu masuk ka ini..kesini meko” Kata Wiwik lewat telepon.
“Lah saya juga ini wii di pintu masuk, manako?” jawabku.
“Ini ka je sama anak-anak”
“Aisss bingungka”

Ternyata kami memang benar berada di pintu masuk, cuman aku berada di pintu masuk bagian belakang dan mereka di bagian depan. Yaiyalah tidak akan pernah ketemu. One of our funny stories actually. Tiga puluh menit lamanya kami saling mencari sebelum akhirnya ketemu. Sekarang kami sudah duduk tenang menunggu kereta. Betapa kagetnya aku pertama kali saat  melihat barang bawaan mereka. Bayangin saja satu orang dengan tiga tas bawaan.

“Masyallah, mauki kemana semua ibu-ibu? Mauki kah umroh ini? Sautku dengan terbelanga.
“Weee cok, kita kan wanitaaaa.. wajarlah kalau barang bawaan kita banyak kasiankkk”

Iya sih terkadang aku memang lupa dengan gender saat travelling. Kadang aku berjalan terlalu cepat padahal belum tentu partnerku bisa berjalan secepatku. Terkadang aku betah jika tidak mandi seharian, tapi belum tentu rekanku. Hal inilah yang harus dipelajari jika kamu ingin menjadi seorang traveler. Simple sajabagaimana kamu bisa memahami dan mengerti partner jalanmu. Traveling itu bukan hanya jalan-jalan doang, tapi lebih dari itu. Pemandangan indah mungkin adalah adalah sebuah tujuannya, tapi prosesnya juga sangat penting. Bagaimana kamu bisa menjadi sosok pribadi yang sabar, sosok yang suka menolong, hingga pada akhirnya menjadi sosok sesorang yang lebih baik.

Aku sadar kalau aku satu-satunya laki-laki diantara ketiga teman-temanku (Wiwik, Ani, dan Nopi) yang datang jauh–jauh dari Parepare (Keluar dari rombongan teman kuliah Mbak Fitri). Tanggung jawabku besar, sudah kewajibanku untuk memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Membatu membawa barang-barang mereka bukan masalah bagiku, selagi aku masih bisa memikul tas-tas mereka, akan aku lakukan. Itulah hal-hal yang telah aku pelajari setelah berkali-kali menjadi  seorang backpacker. Kita harus peduli dan peka. Tunjukkan rasa sayangmu. Sayang itu terkadang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata, dengan tindakan saja sudah cukup. Apalah arti tersurat jika kamu tidak tau tersirat itu apa.

Dengan tiket yang baru kami beli dengan harga Rp.8.000 pertiketnya, sekitar jam setengah delapan malam kami berangkat ke Solo yang akan langsung dijemput oleh keluarga mba Fitri untuk melanjutkan perjalanan ke Sukoharjo.

Sukoharjo, 2 Agustus 2015.

Semua kelihatan berbahagia. Hari ini hari pernikahan salah satu sahabat kami Fitriani Supardi atau yang lebih akrab dipanggil Mbak Fitri. Aku dengan dia berteman sejak kelas dua SMA, itu berarti kurang lebih tujuh atau delapan tahun sudah kami bersahabat. Bagiku dia sosok wanita yang sangat kuat dan perkasa. Tidak ada cerita yang bisa aku bagi untuk menggambarkan betapa perkasanya dia  sebagai seorang wanita. Laki-laki saja mungkin bisa kalah sama dia. Walaupun demikian, aku harus bilang kalau hari ini dia terlihat sangat cantik. Dia tidak pernah secantik ini selama delapan tahun aku mengenalnya. Dengan pakaian khas jawa berwarna hitam dia bagaikan seorang puteri keraton. Dia tak terlihat perkasa lagi, malah begitu anggun. Terharu bisa menjadi saksi sebuah hari bersejarah buat sahabatku itu. Tidak terasa mata ini berkaca-kaca. Aku hanya bisa mendoakan semoga keluargamu diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Aminnn.

(Mas Udin dan Mba Fitri)

Acara sudah selesai. Sudah saatnya kami pamit dan melanjutkan petualangan kami ke tanah dataran tinggi Dieng.

Rombongan yang awalnya berdelapan pun berpisah, karena kami sudah punya itinerary masing-masing. Rombongan Giska dan kawan-kawan (Teman kuliah Mbak Fitri) melanjutkan perjalanan mereka ke Malang, sedangkan kami (Aku, Wiwik, Ani, Nopi, dan mas Heri sepupu mbak Fitri yang memutuskan untuk join dengan kita) ke Dieng. Wanita memang selalu well prepared. Wiwik sudah menyiapkan travel kami untuk ke Dieng. Dengan modal internet, dia menemukan sebuah travel mobil  terpercaya (www.nuranitrans.com 082134134234). Satu juta rupiah harga sewa sebuah mobil untuk dua hari satu malam dibagi berlima. Harga itu sudah termasuk biaya supir dan bensin. Hanya Rp.200.000 per-orang.

Mobil Jemputan sudah tiba, nama pak supirnya Mas Andi. Sekitar jam delapan malam kami meninggalkan Sukoharojo. Petualangan sebetulnya baru dimulai. Jalur yang dilewati adalah Sukoharjo - Salatiga - Magelang - Temanggung - Wonosobo - Dieng. Kurang lebih sekitar enam jam perjalanan dari Sukoharjo ke Dieng. Malam ini akan menjadi malam yang panjang demi melihat sunrise terindah di negeri ini, bahkan banyak yang berkata salah satu terbaik didunia. Waktu yang tepat untuk melihat sunrise Dieng adalah pada musim kemarau (antara Juli - Agustus) saat langit jernih dan jarang turun hujan.

Kami sudah memasuki Wonosobo, cuaca yang sangat dingin mulai terasa, sangat dingin!! Kaca jendela mobil saja terus berembun, menyusahkan mas Andi dalam mengendarai mobil, harus hati-hati. Irama jalan yang kami lewatipun perlahan mulai berbeda. Sangat beliuk-liuk, belum selesai belokan satu, muncul lagi belokan yang lainnya dan akan begitu terus selama perjalanan. Aku tidak kuat, tercatat rekor empat kali muntah selama perjalanan darat ke Dieng. Baru kali ini aku muntah sebanyak ini dalam sebuah perjalanan. Aku mabok berat, perutku sangat mual, mukaku putih pucat. Sungguh lemas badanku, perasaan ingin terus muntah. Berangkat dengan perut yang terisi penuh karena kekenyangan harus berakhir dengan kering kosong akibat muntah-muntah. Mungkin karena kecapekan, ditambah cuaca yang super duper dingin, belum lagi jalanan yang berbelok-belok yang menjadi penyebab utama aku mengalami mabok berat. Sebaiknya jika ingin kesana, pastikan kalau fisik memang sedang dalam kondisi yang prima atau jika perlu persiapkan Antimo (obat anti mabok) sekedar untuk untuk jaga-jaga.

Jam 03.00 pagi.

Kami akhirnya tiba di gerbang pintu masuk Dieng. Kami bisa melihat dengan jelas gerbang yang bertuliskan "Welcome to Dieng". Cuaca begitu dingin, jaket selapis sepertinya kurang, udara begitu menusuk. "Setidaknya aku tidak harus berjuang lagi melawan rasa mabok dan mual" Bisikku dalam hati. Kami memutuskan untuk istirahat sejenak di Indomaret, tidak jauh dari gerbang masuk Dieng. Popmie hangat dan kopi panas cukup untuk memulihkan dan menghangatkan badan. Ditemani dengan candaan kecil bersama teman-teman sekampungku, kurasakan sebuah kebahagiaan. Sudah lama aku merindukan ngomong pake bahasa daerahku sendiri, bahasa Parepare.

"Apanya ji traveler, baru begini muntah mi. Ku ragukan ko si sedding cok" Saut Ani.

Seketika kamipun tertawa tebahak-bahak, terpancar kebahagiaan dari raut muka mereka, teman-temanku. Gengsi sih, aku laki-laki yang seharusnya lebih kuat malah muntah-muntah hahaha. Letih di wajah memudar menjadi merah merona. Kehangatan aku rasakan dari candaan teman-temanku. Aku ternyata memang merindukan mereka, sahabat-sahabat lamaku. Walaupun tidak semua bisa datang kesini, setidaknya mereka sudah mewakili semua perkumpulan kami.

Saatnya menuju Bukit Sikunir terletak di Desa Sembungan, dengan ketinggian 2.350 meter di atas permukaan laut, kata orang-orang Bukit Sikunir tak pernah sepi dari kunjungan para wisatawan yang ingin melihat panorama sang Golden Sunrise yang berlatar belakang jernihnya langit pegunungan Dieng dan Gunung Sindoro. Dengan bantuan seorang pemandu lokal (kami membayarnya sebesar Rp.150.00 untuk menuntun kami ke Bukit Sikunir) mobil berjalan menuju bukit Sikunir. Pemandu kami ini sudah sering bekerja sama dengan pihak travel yang kami gunakan. Untuk mencapai Bukit Sikunir, kami harus berkendara sekitar 15- 20 menit. Kendaraan kemudian bisa diparkir di area Telaga Cebong - Desa Sembungan yang merupakan titik awal pendakian ke sSikunir. Biaya parkir disana hanya Rp.5.000.

Pendakian dimulai sekitar jam 04.00 pagi ditengah dinginnya bukit Sikunir, di tengah gelapnya dataran tinggi Dieng. Rombongan bukan kami saja, banyak wisatawan lokal maupun asing yang ingin menyaksikan panorama matahari terbit itu. Memang benar kalau bukit Sikunir itu tidak pernah sepi pengunjung. Hari Senin begini saja orangnya lumayan ramai, bagaimana pada saat weekend? "Seindah apa sih mataharinya?" Batinku bertanya. Semua bersemangat, semua bergairah, kaki terus melangkah seolah mereka tidak sedang mendaki tapi sedang melangkah di atas jalanan yang datar.

Kembali kujelajah negeriku ini, disebuah tanah surga yang terletak di tengah pulau Jawa. Sebuah kebanggaan bisa menjelajah bersama sahabat lama, sahabat sekampung. Nafas sudah mulai terengah-engah, langkah mulai melambat. Tidak semua diantara kita langkahnya ringan. Ani temanku sepertinya sudah mulai lelah, agak kesulitan baginya mendaki bukit Sikunir. Ini mungkin hal baru baginya tapi dia tidak menyerah. Semua sudah berjalan duluan, dia tertinggal dibelakang, kupanggil namanya "Ani" dan kuulurkan tanganku, menggenggam satu sama lain. "Ayo nii, dekat mi". Kami melangkah bersama, kami istirahat bersama, kami terengah juga bersama. Jika dilewati bersama tidak terasa berat kok. Dia sudah datang jauh dari pulau seberang, jadi harus bisa menyaksikan yang namanya Golden Sunrise. Kurang lebih sudah satu jam kami mendaki, kami sudah berada di puncak Sikunir. Tempat dimana kamu bisa menyaksikan sunrise terindah di dunia.

(Kiri kekanan: Wiwik, Mas Heri, Ani, dan Nopi saat berada di puncak Sikunir)

Garis garis itu mulai terlihat. Gradasi warna mulai terlukis. Kami seolah-olah menanti pancaran sinar emas  yang akan muncul dibaliknya. Garis khatulistiwa kah itu? Bukannya negeri ini memang berada di garis Khatulistiwa? Biru, orange, putih, dan ungu. Tidak pernah kulihat langit seindah ini. Hatiku berdebar, aku grogi untuk bertemu langsung dengan sang mentari. Setiap orang telah mempersiapkan singgasana mereka masing-masing, begitupun diriku. Sudah kupelajari teknik membuat stop motion. Ingin ku rekam moment terbangunnya matahari Dieng itu. Aku memisahkan diri dengan rombongan. Kucari sudutku sendiri. Bagiku menikmati keindahan kadang lebih baik dengan kesendirian. Imajinasimu akan terbang liar. Akhirnya dia mulai muncul, Golden Sunrise yang ditunggu-tunggu semua orang. Mata dan lensa kameraku berlomba-lomba mengabadikan moment itu, tidak mau melewatkan sedetik pun tanpa merekam. "Subhanallah, indah sekali alam ini Tuhan.." Perjuangan terbayar sudah. Terbayar lunas!! Hari ini matahari begitu cantik, gagah, indah, keren, kata apalagi yang bisa kupakai? Semua begitu jelas terlihat dengan mata telanjang.

(Golden Sunrise wakes up)

Terima kasih Tuhan, kau berikan aku kesempatan sekali lagi untuk menjelajahi indahnya negeri ini. Tuhan telah menempatkan titik keindahan disetiap pelosok negeri ini. Kemanapun aku pergi, tidak ada penyesalan saat aku pulang. Matahari yang berwarna emas diselimuti oleh awan yang masih dihiasi oleh gugusan kerlap-kerlip bintang malam yang masih tersisa telah muncul. Gunung Sindoro pun tampak gagah menyambut hari yang baru. Jajaran bukit-bukit yang hijau terhampar luas menambah keindahan pagi itu.

(Penampakan Gunung Sindoro Dari Puncak Sikunir)

(Perbukitan Dieng)

(Menikmati Mentari Pagi)

Semua sudah tidak lelah. Eloknya pemandangan di depan mata seolah membius kami. Alam sadarku menggila, aku berlarian berkeliling. Suara batinku teriak seolah-olah ingin keluar untuk menyaksikan alam itu secara langsung. Kini semua anggota di tubuhku iri pada si mata yang sedang dimanjakan oleh tanah khatulistiwa ini. Ternyata bukan hanya aku yang menggila, teman-temanku pun demikian. Semua sibuk mengabadikan moment dengan kamera handphone mereka masing-masing. Tidak ada satupun sudut disini yang tidak indah. Foto-foto itu kelak akan menjadi bukti ke anak cucu kami kalau Indonesia itu telah indah sejak dulu.

(everyone enjoys their moment)

(Mba Wiwik planer terbaik dan Mas Heri si anak papa hehe)

(Ani sangat bahagia karena sebentar lagi...)

Sekarang sudah jam tujuh pagi. Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kami harus berbegas meninggalkan bukit Sikunir. Perjalanan harus segera dilanjutkan, karena waktu kami terbatas. Hari itu juga aku harus kembali ke Jakarta. Tiket kereta pulang ku jam enam sore dari stasiun Lempuyangan. Dengan estimasi enam jam perjalanan dari Dieng ke Jogjakarta, itu berarti sekitar jam 12 siang kami sudah harus meninggalkan Dieng. Next stop would be Batu Ratapan Angin. Disana kita bisa melihat betapa eksotisnya Telaga Warna dari atas. Di tengah perjalanan, tidak berhentiku dibuat terkagum oleh pemandangan alam Dieng. Semuanya memukau, perkebunan kubis dimana-mana, pohon-pohon berjejeran. Karena semuanya begitu indah, aku putuskan untuk tidak ikut rombongan di mobil, aku ingin dibonceng naik motor saja sama si mas pemandu lokal kami. Sepertinya naik motor lebih seru, angin sepoi-sepoi, udara yang sejuk, wangi pedesaan merangsangku untuk lebih dekat dengan mereka semua. 

"Mas.. Coba tebak, itu tumbuh-tumbuhan pada putih-putih karena apa?" Tanya mas si pemandu lokal yang tiba-tiba menghentikan motornya.
"Karena hama yah mas? Sayang banget yahh" Jawabku dengan sok tau.
"Hahahaha, bukan mas, itu tu es, coba sok dipegang"

(Rumput-rumput yang membeku)

Setelah meluapkan rasa penasaran kami, perjalanan ke Batu Ratapan Angin kami lanjutkan. Batu Ratapan Angin merupakan dua buah batu besar yang saling berdampingan dan terletak di atas bukit. Batu Ratapan Angin ini berada di sekitar Dieng Plateu Theatre, tidak jauh setelah kita turun dari Bukit Sikunir. Sepertinya semua warga di sana juga tau lokasi batu ini. Jadi tidak usah ragu untuk bertanya kepada warga sekitar. Untuk bisa ke sana, kami harus mendaki kembali, mungkin sekitar 15-20 menit. Tapi memang selalu benar kalau tidak ada perjuangan yang sia-sia. Dari bukit, kami bisa melihat kebawah keindahan Telaga warna. Terlihat jelas dua warna yang berbeda. Hijau kekuningan dan hijau kebiruan. Angin yang berhembus terus membangun suasana di atas Batu Ratapan Angin. Hembusan angin menimbulkan suara mendesis bagaikan sbuah kesedihan. Mungkin karena itulah batu itu dinamakan Batu Ratapan Angin.

(Gadis-gadis Parepare: Ani, Wiwik, Nopi)

(Letihnya terbayar sudah)

Perjalanan belum behenti sampai di situ. Candi Arjuna adalah tujuan kami selanjutnya. Lokasinya tidak jauh dari gerbang masuk Dieng, cukup belok kanan sedikit. Namun sebelum ke Candi Arjona kami memutuskan untuk sarapan sebentar sambil berfoto di depan gerbang yang bertuliskan "Welcome to Dieng". Kebetulan warung makan Bu Djono yang kami singgahi itu tepat berada di depang gerbang masuk Dieng. Mari makann... Godaan Indomie rebus pake telor memang tidak pernah mengenal waktu dan tempat. Cuaca yang masih dingin seperti ini memang paling enak makan indomie, cukup banyangkan saja kuahnya, air liurku sudah tidak bisa ditahan. Harga di warung ini masih terbilang cukup murah dan wajar (kisaran Rp.10.000-Rp.20.000 per-porsi). Walaupun mungkin di tempat lain masih bisa ditemukan harga yang lebih murah. Tapi tidak masalah, kami sudah sangat lapar, perjalanan kami dari semalam sangat panjang.

(Welcome to Dieng)

Candi Arjuna merupakan tempat terakhir yang kami kunjungi. Kami sedang beruntung, kami tidak membayar uang tiket sepeserpun untuk masuk kesana. Kemarin baru saja ada acara, jadi masih dalam proses pembersihan, makanya gratis. Normalnya harga tiket masuk di sana adalah Rp.10.000 per-orang. 

(Kawasan Candi Arjuna)

Waktu memang terus berjalan, tidak terasa jarum jam tanganku sudah menunjukkan pukul 11.00 siang, yang berarti kami harus segera meninggalkan Dieng. Sore ini aku harus kembali ke Jakarta. Tiga hari yang singkat dengan beribu memori bersama sahabat lama dan teman baru. Kamipun meninggalkan tanah dataran tinggi Dieng. Seakan tau akan ditinggalkan, Dieng masih mencoba merayu kami untuk tetap tinggal, ia menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Perkebunan yang indah, warna hijau yang menyejukkan memang memberatkan hati kami untuk meninggalkan Dieng. Di setiap akhir perjalananku, aku selalu bertanya "Apakah aku akan kesini lagi? Masih adakah kami berjodoh untuk bertemu?" Masihkah aku hidup dua tiga tahun kedepan untuk kembali kesini lagi? Semoga, amin. Semua sibuk mengambil foto dari dalam mobil. Temanku Wiwik paling heboh "Weeee bagusnya ituu wee, gunungnya, awannyaa, subhanallahhhh". Kamipun memutuskan mampir sebentar sejenak untuk menikmati pemandangan Dieng untuk terakhir kalinya. Sekedar untuk menghirup udara segarnya. Sekedar untuk berfoto, sayang kalau dilewatkan begitu saja.

(Sayang saja kalau tidak berfoto)

(Perkebunan yang menghiasi jalan pulang)

Kini aku sudah terduduk manis di dalam kereta. Sebentar lagi keretaku akan berangkat meninggalkan Stasiun Lempuyangan, Yogjakarta. Pemandangan dibalik kaca jendela tidak lagi menarik perhatianku. Aku lebih memelih untuk membuka kameraku sekedar untuk melihat foto-fotoku bersama teman-temanku selama di Dieng. Bukan keindahan alamnya saja yang membuatku tersenyum, foto-foto kebersamaan kami bahkan mampu membuatku tertawa kecil. Tiba-tiba aku kangen mereka, sahabat-sahabatku. Di setiap petualangan akan ada banyak hal yang akan selalu di rindukan. Entah kapan aku akan berpetualang bersama mereka lagi. Aku yang tinggal di Jakarta dan mereka di Parepare membuat moment seperti ini menjadi sangat langkah. Karena persahabatan kami berpetualang, karena pertemanan cerita ini menjadi luar biasa. Aku datang karena kabar gembira pernikahan sahabatku Mbak Fitri. Dan kinipun aku pulang dengan kabar gembira rencana pernikahan sahabatku Ani. Iya sebentar lagi dia juga akan menyusul, dibisikkannya kepadaku saat kami duduk berdua menikmati sunrise di Bukit Sikunir. "Cok, Insyallah saya juga nysusul mba tahun ini. Seriuska.. Doakan ka nah" Insyallah, semoga rencana muliamu diridohi oleh Allah SWT. Aku turut bahagia sahabat..

Masih di dalam kereta..

Sebuah foto sudah aku upload di account Instagramku lengkap dengan caption dan location nya. Posting foto di Instagram sudah menjadi kewajiban di setiap akhir perjalananku. Photo map pada Instagram adalah lambang misiku. Aku ingin potret perjalananku tersebar disetiap pelosok negeri ini bahkan dunia. Kini baru hanya beberapa bagian di Indonesia dan negara-negara Asean yang sudah tertandai oleh foto postinganku. Masih banyak tempat yang belum aku datangi. Aku masih ingin menjelajah lebih. Aku masih ingin pergi jauh. Aku ingin berkenalan dengan dia, dia, dan dia. Ingin aku tunjukkan pada orang-orang kalau di luar sana ini itu sangat indah dengan gugusan alam dan budayanya. Bukuku kembali aku tutup, kali ini ceritanya sudah selesai. "Walking Under The Golden Sunrise" aku rasa cukup memotretkan kisahku kali ini.



 My Instagram Photo Map

6 comments:

  1. mantap nih,, bisa jadi travel guide gw ntar di Dieng..
    masukan aja,, translate donk bahasa daerahnya..
    hahahha... :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih mas, semoga bisa jadi referensi..
      Sayang tulisan yang ini belum lengkap.. Masih ada Telaga warna dan candi arjuno yg belum sy masukkan..
      Insyalloh soon...

      hahaha biar belajar bahasa Sulawesi mas :P

      Delete
  2. somehow setuju sama ribetnya traveling sama orang lain, harus banyak2 sabar, haha
    semoga bisa keliling dunia! aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha sekalian melatih yah..

      Amin Ya Allah.. Aminnnn :)

      Delete
  3. Barakallah Mbaa ^^ sudah lama ndak ketemu sama mba fit *salahfokus*

    Pemandangannya super cantik yaa ^_^ itu rumputnya sampai membeku gitu...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah dia sudah jadi istri orang hehehe

      Iya mba subhanallah negeri ini. Salam penjelajah :)

      Delete